TEGAL - (Media Rakayat). 12
November 2016, Pada dua hari belakangan ini, kita lihat sejumlah
kendaraan truk yang mengangkut prajurit Korps Marinir hilir mudik di jalur
Pantura Tegal-Pemalang. Kesibukan para prajurit berbaret ungu semata-mata bukan
untuk show of force, melainkan sedang menggelar sejumlah kegiatan dalam rangka
memperingati hari jadinya yang ke-71, pada 15 November 2016 mendatang.
Kegiatan ratusan para Marinir yang didatangkan dari
markasnya di Jakarta tersebut yang utama adalah melaksanakan ziarah ke Taman
Makam Pahlawan (TMP) Jayana Sureng Yudha di Kabupaten Pemalang, Minggu
(13/11/2016). Di TMP yang terletak di desa Penggarit ini tercatat ada sekitar
56 prajurit Korps Marinir yang dimakamkan di tempat ini. Uniknya hampir di
setiap nisan para pendahulu Korps ini selalu tertera kata-kata CA IV yang
merupakan kepanjangan dari Corps Armada IV.
![]() |
Pasukan Korps Marinir saat menerima kunjungan Jokowi |
Secara historis CA IV yang di dalamnya terdapat satuan
Corps Mariniers (CM) atau sekarang yang kita kenal dengan sebutan Korps Marinir
TNI AL pada mulanya lahir di kota Tegal. Kelahiran Korps Marinir atau Korps Baret
Ungu di kota Tegal ini
berawal dari situasi dan kondisi yang terjadi pasca Proklamasi 17 Agustus 1945
dari mulai terbentuknya badan-badan perjuangan, salah satunya Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Saat itu, pembentukan badan ini merupakan hasil
keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 22 Agustus 1945
tentang pembentukan tiga badan yang meliputi Komite Nasional Indonesia, Partai
Nasional Indonesia dan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Dalam
lingkungan BPKKP inilah dibentuk suatu badan yang bernama BKR. Dari BKR ini
selanjutnya dibentuk pula badan khusus yang melaksanakan tugas keamanan di
pantai serta ketertiban di daerah pelabuhan yang disebut BKR Laut. Seiring
dengan terbentuknya BKR Laut maka dibentuk pula BKR-BKR Laut di daerah, salah
satunya BKR Laut Tegal.
BKR Laut
Tegal dibentuk pada tanggal 30 September 1945. Sebagian besar anggotanya
berasal dari pemuda pelaut, bekas guru dan murid SPT (Sekolah Pelayaran
Tinggi), anggota Heiho, Kaigun Heiho, anggota PETA, pegawai pelabuhan, pegawai
perikanan laut, pegawai rumah penjara serta anggota bea dan cukai. Setelah
terbentuk mereka langsung mengadakan kegiatan antara lain melucuti senjata
tentara Jepang, mengambil alih kapal yang ada di Pelabuhan Tegal dan bergerak
aktif dalam KNI Tegal. Markas besar BKR Laut Tegal saat itu menempati gedung
bekas jawatan pelabuhan.
Keberhasilan
BKR Laut Tegal mengambil alih kendali kekuasaan dari tangan Jepang menjadikan
BKR Laut Tegal saat itu terkenal dengan kemajuan armada lokalnya sehingga BKR
Laut Pusat mempercayakannya untuk menyiapkan ekpedisi keluar Jawa yang
pelaksanaannya dimulai pada awal 1946. Bukan hanya itu, karena memiliki
organisasi yang nyata serta didukung kelengkapan persenjataan dan dukungan
logistik yang kuat maka BKR Laut Tegal akhirnya diresmikan menjadi Resimen
Tentara Keamanan Laut (TKR) Laut Tegal, mengacu kepada terbentuknya TKR pada 5
Oktober 1945..
![]() |
Marinir dalam latihan pendaratan |
Seiring
dengan mulai berkembangnya TKR Laut Tegal, pada tanggal 14 hingga 18 Oktober
1945, terjadi pertempuran sengit di Semarang antara tentara Sekutu daru Divisi
XXIII Inggris dengan pasukan Gurkhanya
di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel melawan para pejuang
kemerdekaan yang saat itu sedang berjuang melucuti persenjataan tentara Jepang.
Pejuang dari BKR Laut Semarang adalah salah satu yang terlibat di dalamnya.
Karena kalah persenjataan dan munisi, BKR Laut Semarang di bawah pimpinan Agoes
Soebekti dan OB Sjaaf ini hijrah dan bergabung dengan TKR Laut Tegal. Pada saat
yang bersamaan, TKR Laut Tegal juga menerima kedatangan 60 orang rombongan SPT
dari Jakarta di bawah pimpinan Adam dan Ali Sadikin yang diperintahkan Laksamana
Pardi yang saat itu menjabat Panglima ALRI untuk membantu memperkuat TKR Laut
Tegal. Selain itu bergabung pula rombongan eks Marinir Belanda yang dikenal
dengan sebutan Korps Mariniers dan eks KNIL dibawah pimpinan Wakidjo dan Toekiran serta satu Batalyon
ringan pemberontak pimpinan Hutapea, termasuk juga rombongan Para Pemuda
Petjinta Bahari pimpinan J. Saminoe . Dan
masih banyak lagi, unsur-unsur kemiliteran dari daerah lain yang
bergabung dengan TKR Laut Tegal, baik perorangan maupun rombongan.
Dengan
bergabungnya beberapa satuan ke TKR Laut Tegal pada September, Oktober hingga
awal November 1945, maka untuk menghadapi serangan tentara Sekutu/ Belanda yang
sewaktu-waktu tiba, dilaksanakanlah konsolidasi kekuatan salah satunya dengan
membentuk ALRI Pangkalan IV Tegal yang meliputi area operasi perbatasan
Pekalongan-Semarang di sebelah timur dan perbatasan Losari-Cirebon di sebelah
barat. Kekuatan pasukan ALRI Pangkalan
IV Tegal ini cukup besar di bawah pimpinan Panglima Kolonel Darwis Djamin, di dukung
oleh satuan-satuan yang telah ada sebelumnya yaitu Corps Mariniers (CM), Corps
Armada, Corps Navigasi, Corps MSD/ Teknik Mesin, Corps Kesehatan, Corps
Administrasi, Corps PHB, Corps Penerangan, Corps Penerbangan dan Corps Polisi
Tentara Laut.
Khusus
untuk Corps Mariniers (CM) di dalam ALRI Pangkalan IV Tegal, organisasi ini
sudah terbentuk pada akhir Oktober 1945 namun baru terawaki dan diresmikan pada
tanggal 15 November 1945. Kekuatan yang dimiliki CM di bawah pimpinan Komandan
CM Mayor Agoes Soebekti dan Wakil Komandan CM Kapten OB. Sjaaf saat itu cukup
besar, terdiri dari lima batalyon yaitu Batalyon CM I di Tegal dengan Komandan
Kapten A. Djatmiko Legowo, Batalyon CM
II di Brebes dengan Komandan Letnan Kusumo Sutanto P., Batalyon CM III di Kemantran,
Tegal dengan Komandan Kapten Wiranto Suwono, Batalyon IV CM di Pekalongan
dengan Komandan Kapten R. Suhadi dan Batalyon CM V di Kalibakung dengan
Komandan Kapten Darono.
Sejalan
dengan terbentuknya Sekolah Angkatan Laut (SAL) Tegal, Sekolah Opsir (Perwira
AL) di Kalibakung, Pendidikan dan Latihan prajurit CM pun dilengkapi dengan
didirikannya Depot Latihan CM di Tuwel yang khusus melatih Perwira CM dan
pendidikan sekolah kader Bintara CM di Pagongan. Sedangkan untuk perlengkapan
dan persenjataan secara bertahap juga diperhatikan dan dilengkapi.Pada tanggal
28 September 1946, CM dari ALRI Pangkalan IV Tegal mendapat pasokan perbekalan
dan persenjataan cukup besar hasil selundupan dari Singapura terdiri dari 1600
pucuk senapan LE (Lee Enfield Mark I), 6 unit meriam penangkis serangan udara
merk Orion, perlengkapan lapangan lengkap untuk satu resimen CM (termasuk
alat-alat makan dan masak), satu perangkat kesehatan lapangan serta
perlengkapan pakaian seragam lengkap dari sepatu hingga topi baja. Selain dari
hasil selundupan dan membeli, pasukan CM juga
memiliki 1 buah pabrik senjata yang terletak di Pagongan bagian selatan kota
Tegal dan di Slawi. Sekalipun pabrik senjata ini masih dalam kondisi sederhana,
namun beberapa jenis senjata dan berbagai peralatannya sudah dapat dibuat,
seperti misalnya senjata “Tekidanto”, mortir 81 mm laras peluncur terbuat dari
pipa tiang listrik, berbagai senjata laras pendek jenis “Sten-gun”, granat
tangan jenis gombyok, dan senjata tajam berbagai jenis.
Dengan
organisasi CM yang telah terorganisasi dengan baik serta perlengkapan/
perbekalan dan persenjataan yang lengkap maka saat itu kesatuan CM ALRI
Pangkalan IV Tegal menjadi salah satu kekuatan yang sangat diperhitungkan bukan
saja di lingkungan ALRI, namun juga sangat diperhitungkan oleh tentara Sekutu/
Belanda. Pada saat Agresi Belanda I dan II, prajurit CM menjadi pasukan
terdepan dalam setiap pertempuran mulai dari pertempuran yang terjadi di Sragi,
Kalibakung, Bumijawa, Watukumpul dan pertempuran di daerah lainnya.
Pada 1948,
Pangkalan-Pangkalan ALRI di Jawa direorganisi menjadi Corps Armada (CA) yang
terdiri dari CA I s/d CA VI. ALRI Pangkalan IV Tegal sendiri berubah namanya
menjadi CA IV yang berkedudukan di Pekalongan di bawah pimpinan Mayor R.
Soehadi. Sedangkan untuk Marinirnya mengikuti perubahan ini dengan sebuta Corps
Mariniers CA IV Tegal.
Pada
tanggal 27 Juli 1948 berdasarkan Skep Menteri Pertahanan, kesatuan CM yang
berada di bawah CA IV dibawahperintahkan (istilah sekarang BKO-Bawah Kendali
Operasi) Divisi Diponegara Angkatan
Darat dan dijadikan Resimen 45 Divi Diponegoro dan dikenal dengan sebutan
Resimen Samudra. Secara administratif,
Resimen Samudra ini di bawah Mabes ALRI Yogyakarta yang terdiri dari lima batalyon
yaitu Batalyon 174 di Wonosobo, Batalyon 175 di Parakan, Batalyon 176 dan 177
di Temanggung serta Batalyon 178 yang berkedudukan di Rembang. Resimen Samudra
ini bahu membahu berjuang dengan komponen kekuatan militer lainnya terutama
pada saat menghadapi Agresi Belanda II.
Pada
tanggal 9 Oktober 1948 berdasarkan
keputusan Menteri Pertahanan Nomor A/565/1948, ditetapkan adanya Korps Komando
(KKo) di lingkungan ALRI. Untuk melengkapi personel Korps Komando maka pasca
persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), Mabes ALRI mengadakan “selection board”
untuk menjaring calon personel KKO yang dilaksanakan di Surabaya dengan peserta
dari CM dari CA yang bermarkas di Jawa dan Pangkalan ALRI Sumatera. Dari hasil
selection board untuk KKo tersebut, lulus dan diterima menjadi pasukan inti KKO
AL kurang lebih 1200 orang yang ternyata 95% adalah personel eks Corps
Mariniers CA IV Tegal. Kenyataan ini membuktikan bahwa personel CM CA IV Tegal
merupakan embrio KKO AL yang selanjutnya berubah namanya menjadi Korps Marinir
pada tahun 1975.
Lahirnya
CM di tubuh ALRI Pangkalan IV Tegal pada tanggal 15 November 1945 selanjutnya
juga ditetapkan sebagai Hari Lahir Korps Marinir. Hal ini sesuai dengan
Keputusan Presiden / Panglima Tertinggi ABRI Ir. Soekarno Nomor : 342 tahun
1965 tanggal 12 November 1945 yang memutuskan dan menetapkan hari, tanggal dan
tahun lahir/ berdirinya Korps Komando Angkatan Laut tanggal 15 November 1945. (TIM/MR/99)